Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan Publik

Judul: Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan Publik
Penulis: Saiful Arif
Penerbit: Averroes Press
Seri: Buku Seri Demokrasi ke-3
Tahun: 2006
Tebal: 172
ISBN: 9799793997086

Secara ideal demokrasi seharusnya menjadi acuan kehidupan kebangsaan di level manapun, baik dalam tingkat masyarakat maupun pemerintah. Demokratisasi dalam ide, perumusan, pelaksanaan maupun evaluasi kebijakan publik di tingkat lokal akan menjadi representasi sejauh mana tingkat dan kualifikasi demokrasi pada pemerintah bersangkutan. Sejauh mana pemerintah membuka ruang partisipasi publik, sejauh mana gagasan diolah bersama dan implementasi kebijakan diawasi oleh masyarakat, merupakan serangkaian dari proses demokratisasi itu sendiri.

Kebijakan publik tidak lain merupakan aktivitas pemerintah yang pada akhirnya berujung pada bagaimana publik menjalankan kehidupannya sehari-hari. Secara spesifik, demokratisasi di aras kebijakan publik merupakan tuntutan yang sudah tak bisa ditolak, mengingat serangkaian proses demokrasi secara umum. Kebijakan desentralisasi, reformasi birokrasi, peran serta masyarakat, pemberdayaan legislatif dan seterusnya merupakan langkah-langkah penting untuk mewujudkan demokrasi di daerah.

Demokrasi bagaimanapun akan kembali pada masyarakat. Demokrasi mempersyaratkan keterlibatan aktif masyarakat warga untuk menentukan keadaan kehidupan yang sesuai dengan pilihan-pilihannya. Karena demikian, tidak dapat dimungkinkan sama sekali jika kebijakan publik dalam perpektif desentralisasi tidak memuat nilai-nilai luhur demokrasi. Tidak ada ruang dan alasan yang bisa dibenarkan dalam perspektif apapun, kebijakan publik direncanakan, dirumuskan, diimplementasikan tanpa mengikutsertakan pertimbangan masyarakat warga.

Di titik inilah persisnya kebijakan publik harus dirancang secara demokratis. Setelah itu, kebijakan publik juga harus diterapkan secara demokratis dan dievaluasi bersama secara demokratis pula, untuk menghasilkan rumusan baru kebijakan yang lebih sesuai dengan zaman, tuntutan, kebutuhan dan konteks di mana masyarakat berkehidupan.

Demokratisasi Pemerintahan Lokal

Tujuan politik otonomi daerah (desentralisasi) adalah untuk menciptakan hubungan yang lebih adil dan terbuka antara Pusat dengan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan. Kesatuan dapat direkatkan dalam suasana politik desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberi kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk melaksanakan pemerintahannya. Cita-cita ideal seperti ini bukan sesuatu yang mudah dikerjakan. Indonesia sendiri berpengalaman dalam menentukan corak desentralisasi dengan bermacam-macam undang-undang. Target dan capaiannya adalah penataan hubungan kepemerintahan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan ciri khas Indonesia sebagai bangsa dan negara.

Pemerintahan lokal yang otonom dan mandiri memiliki mensyaratkan hal-hal seperti berikut, bahwa pemerintah lokal mempunyai teritorium yang jelas, memiliki status hukum yang kuat untuk mengelola sumberdaya dan mengembangkan lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independen. Ini tentu harus didukung oleh kebijakan yang menyiratkan bahwa kewenangan pemerintah pusat sangat kecil dan pengawasan yang dilakukannya lebih bersifat tak langsung.

Dennis Rondinelli (1981) mengatakan bahwa desentralisasi politik adalah peralihan kekuatan ke unit-unit geografis pemerintah lokal yang terletak di luar struktur komando secara formal dari pemerintahan pusat. Dengan demikian, desentralisasi politik menyatakan bahwa konsep-konsep pemisahan, dari berbagai struktur dalam sistem politik secara keseluruhan. Pemerintah lokal harus diberi otonomi dan kebebasan serta dianggap sebagai level terpisah yang tidak memperoleh kontrol langsung dari pemerintah pusat. Pada saat yang sama, pemerintah lokal harus memiliki batas-batas geografis yang ditetapkan secara hukum dan jelas di mana mereka (unit-unit tersebut) menerapkan wewenangnya dan melaksanakan fungsi-fungsi publik. Dalam desentralisasi politik, pemerintah lokal juga harus mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan diri sebagai lembaga. Pengertiannya adalah bahwa lembaga ini dianggap rakyat lokal sebagai organisasi yang menyediakan layanan yang memenuhi kebutuhannya dan sebagai unit-unit pemerintah yang berpengaruh.

Oleh sebab tujuan desentralisasi adalah untuk melakukan demokratisasi pemerintahan lokal, maka desentralisasi itu sendiri harus diterapkan dengan cara-cara yang menjunjung tinggi nilai hakiki demokrasi. Ini perlu digarisbawahi karena kenyataan kehidupan pemerintahan kita tidak jarang menunjukkan kenyataan, desentralisasi diterapkan dengan terlalu sering mengabaikan nilai-nilai demokrasi. Kalau tidak begitu, proses demokratisasi di daerah seringkali memperoleh hambatan justru dari pihak-pihak yang mengemban amanat desentralisasi itu sendiri.

Manajemen Pembangunan Daerah (Teori dan Aplikasi)

Judul: Manajemen Pembangunan Daerah: Teori dan Aplikasi
Penulis: M. Safi’i
Penerbit: Averroes Press
Tahun: 2009
Tebal: 146
ISBN: 9799793997215

Dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, studi manajemen pembangunan daerah sangat dibutuhkan oleh pemerintah di daerah. Terutama dalam perkembangannya seringkali otonomi daerah menghadapi kendala ketika kapasitas lokal belum bisa mengartikan makna sebagaimana yang dimaksudkan. Otonomi daerah sering hanya dimaknai sebagai keleluasaan daerah dalam ranah politik semata.

Manajemen Pembangunan Daerah

Kebutuhan akan studi manajemen pembangunan daerah semakin mengemuka dewasa ini mengingat tuntutan yang semakin kuat dari para penyelenggara pemerintahan untuk merencanakan dan menjalankan otonomi daerah secara efisien dan efektif agar mendapatkan hasil maksimal. Manajemen pembangunan daerah sebagai studi praktis berupaya untuk memahami substansi pembangunan daerah berdasarkan enam dimensi utama, yakni kebijakan, implementasi kebijakan, perencanan, pengawasan, etika dan politik. Dengan sinergi yang baik di antara enam dimensi di atas, pembangunan daerah lebih mudah dijalankan dan hasilnya lebih mudah dicapai.

Dalam hal pembangunan daerah, permasalahan mendasar yang masih belum teratasi sampai saat ini misalnya keterbatasan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Masih ada ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kucuran dana dari pemerintah pusat. Ketidaksiapan aparatur pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi daerah menjadikan banyak daerah masih kesulitan untuk mencari sumber pembiayaan yang otonom.

Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa alokasi dana pembangunan daerah dinilai belum tepat sasaran. Di daerah-daerah saat ini, banyak proyek-proyek pembangunan tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal ini berakibat pada inefisiensi pembiayaan pembangunan. Ini akan memberikan kontribusi negatif pada keberhasilan pembangunan atau tidak terdapat hubungan signifikan antara peningkatan biaya pembangunan dengan keberhasilan pembangunan yang ditandai dengan pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Fakta membengkaknya anggaran daerah seringkali tidak diimbangi dengan pemetaan yang akurat terhadap situasi aktual kebutuhan masyarakat. Terkesan, kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat hanya bersifat tambal sulam. Kasus-kasus demikian di era otonomi daerah saat ini baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota masih terasa karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan mengenai pengelolaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, serta ketaktersediaan sarana-prasarana pendukung pelaksanaan otonomi daerah serta keterbatasan kemampuan pendanaan pembiayaan pembangunan di daerah sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Penulisan buku ini di samping untuk menambah referensi bagi wawasan manajemen pembangunan daerah juga diharapkan bisa menambah informasi bagi pelaku pembangunan di daerah. Dengan sinergi yang baik di antara enam dimensi di atas, pembangunan daerah diharapkan lebih mudah dijalankan dan hasilnya lebih mudah dicapai.