Kebijakan Tidak Biasa Untuk Akselerasi Pembangunan Infrastruktur

Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi infrastruktur adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi kesenjangan pembangunan antara wilayah satu dengan wilayah lain. Selama ini, 80% pertumbuhan nasional terjadi di wilayah barat Indonesia, Pulau Kalimantan dan Sulawesi berkontribusi dibawah 15%, sementara sisanya adalah kontribusi Wilayah Indonesia Timur lain. Upaya membagi atau menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi ini sudah menjadi perhatian Pemerintah Pusat sejak dulu. Saya ambil contoh pertumbuhan di Pulau Kalimantan. Dalam RPJMN 2014 – 2019, Pemerintah mencoba meningkatkan kontribusi perekonomian Pulau Kalimantan dari 8,7% menjadi 9,6%. Tidak mudah untuk mencapai angka ini. Pada tahun 2017, Pulau Kalimantan hanya mampu berkontribusi 8,20% terhadap perekonomian nasional. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, salah satunya adalah kondisi infrastruktur di Pulau Kalimantan yang belum memadai sehingga Pulau Kalimantan kalah menarik dari Pulau Jawa dalam konteks daya saing wilayah.

Menyikapi hal ini, percepatan pembangunan infrastruktur merupakan hal krusial. Perlu langkah strategis untuk meningkatkan daya saing Pulau Kalimantan sehingga Pulau Kalimantan juga menjadi salah satu tujuan investasi terutama disektor manufaktur. Percepatan pembangunan infrastruktur guna mengurangi kesenjangan pembangunan wilayah bukanlah sesuatu yang baru. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan untuk mengatasi kendala yang ada, salah satunya skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Kebijakan ini dikeluarkan untuk mengatasi kendala terbatasnya dana pemerintah untuk mendanai seluruh kebutuhan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah nusantara.

Walaupun skema KPBU ini bisa dikatakan sangat baik dan merupakan angin segar bagi akselerasi pembangunan infrastruktur, hingga saat ini pelaksanaannya belum optimal. Belum banyak proyek strategis yang berhasil dibangun dengan cepat. Walaupun dalam frame kebijakan “percepatan” nyatanya pelaksanaannya tetap butuh waktu bertahun-tahun. Sebuah proyek strategis dapat dihadang sebuah kendala yang mengharuskan pekerjaan terhenti satu, dua, bahkan lebih dari tiga tahun. Terkadang juga dana sudah tersedia tetapi tidak dapat digunakan. Penyebabnya banyak, yang biasa terjadi seperti ketidaksiapan dokumen perencanaan dan lingkungan, lahan yang dibutuhkan belum bebas, ataupun lahan yang dibutuhkan tidak sesuai peruntukannya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Agar kebijakan “Percepatan” ini dapat diimplementasikan benar-benar cepat, tentu tidak bisa dengan menggunakan cara-cara lama. Perlu cara baru untuk menyelesaikan masalah yang ada. Saya berpendapat bahwa cara baru tersebut harus dimulai dari kebijakannya karena kebijakan yang inovatif berpeluang diikuti dengan program, kegiatan, serta langkah-langkah inovatif pula. Sebaliknya, usulan kegiatan atau teknik inovatif akan sulit diimplementasikan jika tidak didukung oleh kebijakan yang inovatif.

Saya menawarkan sebuah inovasi kebijakan yang bisa dibilang aneh, tidak biasa, atau bahkan nekat. Kebijakan ini mempersyaratkan komitmen dan konsistensi penuh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Jika biasanya sebuah proyek didanai ketika sedang dikerjakan atau dibayarkan sesuai progress, kali ini penanggung jawab kegiatan ditantang untuk menuntaskan dulu baru kemudian dibayar, atau kita sebut “Bangun Sekarang, Bayar Kemudian”. Skema ini sebenarnya mirip dengan beberapa skema yang ditawarkan oleh KPBU tetapi dengan tekanan atau beban yang lebih besar. Tekanan ini diharapkan membuat pihak yang terlibat lebih serius, lebih konsisten, lebih hati-hati dan menjaga komitmen penuh sesuai dengan perjanjian yang dibuat.

Konsepnya sangat sederhana, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, atau kolaborasi keduanya mengusulkan kegiatan atau proyek strategis yang diyakini membawa dampak besar bagi pertumbuhan ekonomi wilayah. Proyek tersebut kemudian diseleksi oleh tim APBN untuk dinilai dampak dan kelayakannya. Jika disetujui, maka proyek tersebut dapat dilelang atau ditawarkan kepada publik untuk dibangun dalam jangka waktu tertentu dan akan dibayarkan oleh dana APBN jika proyek tersebut tuntas dibangun, telah operasional, dan bermanfaat bagi kemajuan daerah. Jika satu saja persyaratan tidak dipenuhi, misalnya proyek tuntas dibangun tapi belum bisa digunakan, maka biaya pelaksanaan proyek tidak dapat dibayarkan.

Pengusul memiliki beban atau tanggung jawab untuk menuntaskan proyek tepat waktu. Selama ini, percepatan pembangunan infrasruktur terhambat karena masih tersedianya ruang gerak untuk mengubah-ubah atau merevisi di tengah jalan. Hal ini disebabkan oleh perencanaan yang kurang cermat dan teliti sehingga waktu dapat terbuang beberapa tahun hanya untuk memperbaiki satu hal saja. Pengusul kegiatan dituntut untuk cermat, hati-hati dan tidak asal mengusulkan tanpa pertimbangan yang terukur secara kuantitatif. Optimis boleh, realistis lebih penting. Sejak proses pengusulan dan seleksi, kendala-kendala harus sudah diperhitungkan secara cermat dan realistis. Kendala-kendala yang ditemui mau tidak mau harus diselesaikan dengan mencari cara-cara kreatif. Disinilah akan terlihat komitmen Kepala Daerah untuk mencari solusi, sesulit apapun kendala menghadang.

Setelah dilelang/ditawarkan akan diperoleh pihak/badan usaha yang bersedia melaksanakan proyek tersebut. Perusahaan yang melaksanakan juga akan dibebani tanggung jawab untuk menuntaskan proyek dengan kualitas dan jangka waktu sesuai dengan kontrak kerja. Pemerintah Pusat, dalam hal ini tim APBN juga terbebani tanggung jawab untuk mencari dan menyediakan dana untuk membayar proyek tersebut setelah jatuh tempo.

Bisa dikatakan skema ini semacam “utang” atau janji APBN kepada Daerah beserta pelaksana suatu proyek strategis. Hal yang membedakan skema ini dengan skema biasa adalah proyek ini harus sudah mulai operasional dan dapat dimanfaatkan, baru dibayar. Jika hutang biasanya digunakan untuk melaksanakan proyek yang sedang berjalan, yang berpotensi mandek, yang tuntas tapi tidak dapat digunakan, maka skema ini berbeda. Pemerintah berhutang untuk sesuatu yang sudah tuntas, yang manfaatnya sudah kelihatan dapat dirasakan.

Satu hal lagi tentang skema ini. Jika memang Pemerintah berniat kuat untuk mempercepat pembangunan di luar Jawa & Sumatera, maka skema ini dapat diberi batasan hanya untuk luar Pulau Jawa dan Sumatera.

Laah, apa bedanya skema ini dengan built, operate, Transfer?”

“Trus bedanya sama Availabillity Payment apa?”

“Proyek apa saja yang kira-kira bisa menggunakan skema ini?”

Pasti masih banyak pertanyaan yang muncul di benak tentang skema aneh dan tidak biasa ini dan tentunya masih banyak yang perlu didetailkan lagi. Saya berharap penjelasan awal ini dapat membuka pemikiran bahwa masih ada kebijakan yang bisa dilaksanakan untuk lebih mempercepat gerak pembangunan infrastruktur terutama di luar pulau Jawa. Jika infrastruktur di luar jawa meningkat, saya yakin gerak pembangunan ekonomi akan semakin intensif dan perlahan-lahan dapat menyeimbangkan “Kapal” yang selama ini oleng ke sebelah barat.

Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan Publik

Judul: Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan Publik
Penulis: Saiful Arif
Penerbit: Averroes Press
Seri: Buku Seri Demokrasi ke-3
Tahun: 2006
Tebal: 172
ISBN: 9799793997086

Secara ideal demokrasi seharusnya menjadi acuan kehidupan kebangsaan di level manapun, baik dalam tingkat masyarakat maupun pemerintah. Demokratisasi dalam ide, perumusan, pelaksanaan maupun evaluasi kebijakan publik di tingkat lokal akan menjadi representasi sejauh mana tingkat dan kualifikasi demokrasi pada pemerintah bersangkutan. Sejauh mana pemerintah membuka ruang partisipasi publik, sejauh mana gagasan diolah bersama dan implementasi kebijakan diawasi oleh masyarakat, merupakan serangkaian dari proses demokratisasi itu sendiri.

Kebijakan publik tidak lain merupakan aktivitas pemerintah yang pada akhirnya berujung pada bagaimana publik menjalankan kehidupannya sehari-hari. Secara spesifik, demokratisasi di aras kebijakan publik merupakan tuntutan yang sudah tak bisa ditolak, mengingat serangkaian proses demokrasi secara umum. Kebijakan desentralisasi, reformasi birokrasi, peran serta masyarakat, pemberdayaan legislatif dan seterusnya merupakan langkah-langkah penting untuk mewujudkan demokrasi di daerah.

Demokrasi bagaimanapun akan kembali pada masyarakat. Demokrasi mempersyaratkan keterlibatan aktif masyarakat warga untuk menentukan keadaan kehidupan yang sesuai dengan pilihan-pilihannya. Karena demikian, tidak dapat dimungkinkan sama sekali jika kebijakan publik dalam perpektif desentralisasi tidak memuat nilai-nilai luhur demokrasi. Tidak ada ruang dan alasan yang bisa dibenarkan dalam perspektif apapun, kebijakan publik direncanakan, dirumuskan, diimplementasikan tanpa mengikutsertakan pertimbangan masyarakat warga.

Di titik inilah persisnya kebijakan publik harus dirancang secara demokratis. Setelah itu, kebijakan publik juga harus diterapkan secara demokratis dan dievaluasi bersama secara demokratis pula, untuk menghasilkan rumusan baru kebijakan yang lebih sesuai dengan zaman, tuntutan, kebutuhan dan konteks di mana masyarakat berkehidupan.

Demokratisasi Pemerintahan Lokal

Tujuan politik otonomi daerah (desentralisasi) adalah untuk menciptakan hubungan yang lebih adil dan terbuka antara Pusat dengan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan. Kesatuan dapat direkatkan dalam suasana politik desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberi kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk melaksanakan pemerintahannya. Cita-cita ideal seperti ini bukan sesuatu yang mudah dikerjakan. Indonesia sendiri berpengalaman dalam menentukan corak desentralisasi dengan bermacam-macam undang-undang. Target dan capaiannya adalah penataan hubungan kepemerintahan dan kemasyarakatan yang sesuai dengan ciri khas Indonesia sebagai bangsa dan negara.

Pemerintahan lokal yang otonom dan mandiri memiliki mensyaratkan hal-hal seperti berikut, bahwa pemerintah lokal mempunyai teritorium yang jelas, memiliki status hukum yang kuat untuk mengelola sumberdaya dan mengembangkan lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independen. Ini tentu harus didukung oleh kebijakan yang menyiratkan bahwa kewenangan pemerintah pusat sangat kecil dan pengawasan yang dilakukannya lebih bersifat tak langsung.

Dennis Rondinelli (1981) mengatakan bahwa desentralisasi politik adalah peralihan kekuatan ke unit-unit geografis pemerintah lokal yang terletak di luar struktur komando secara formal dari pemerintahan pusat. Dengan demikian, desentralisasi politik menyatakan bahwa konsep-konsep pemisahan, dari berbagai struktur dalam sistem politik secara keseluruhan. Pemerintah lokal harus diberi otonomi dan kebebasan serta dianggap sebagai level terpisah yang tidak memperoleh kontrol langsung dari pemerintah pusat. Pada saat yang sama, pemerintah lokal harus memiliki batas-batas geografis yang ditetapkan secara hukum dan jelas di mana mereka (unit-unit tersebut) menerapkan wewenangnya dan melaksanakan fungsi-fungsi publik. Dalam desentralisasi politik, pemerintah lokal juga harus mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan diri sebagai lembaga. Pengertiannya adalah bahwa lembaga ini dianggap rakyat lokal sebagai organisasi yang menyediakan layanan yang memenuhi kebutuhannya dan sebagai unit-unit pemerintah yang berpengaruh.

Oleh sebab tujuan desentralisasi adalah untuk melakukan demokratisasi pemerintahan lokal, maka desentralisasi itu sendiri harus diterapkan dengan cara-cara yang menjunjung tinggi nilai hakiki demokrasi. Ini perlu digarisbawahi karena kenyataan kehidupan pemerintahan kita tidak jarang menunjukkan kenyataan, desentralisasi diterapkan dengan terlalu sering mengabaikan nilai-nilai demokrasi. Kalau tidak begitu, proses demokratisasi di daerah seringkali memperoleh hambatan justru dari pihak-pihak yang mengemban amanat desentralisasi itu sendiri.

Manajemen Pembangunan Daerah (Teori dan Aplikasi)

Judul: Manajemen Pembangunan Daerah: Teori dan Aplikasi
Penulis: M. Safi’i
Penerbit: Averroes Press
Tahun: 2009
Tebal: 146
ISBN: 9799793997215

Dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, studi manajemen pembangunan daerah sangat dibutuhkan oleh pemerintah di daerah. Terutama dalam perkembangannya seringkali otonomi daerah menghadapi kendala ketika kapasitas lokal belum bisa mengartikan makna sebagaimana yang dimaksudkan. Otonomi daerah sering hanya dimaknai sebagai keleluasaan daerah dalam ranah politik semata.

Manajemen Pembangunan Daerah

Kebutuhan akan studi manajemen pembangunan daerah semakin mengemuka dewasa ini mengingat tuntutan yang semakin kuat dari para penyelenggara pemerintahan untuk merencanakan dan menjalankan otonomi daerah secara efisien dan efektif agar mendapatkan hasil maksimal. Manajemen pembangunan daerah sebagai studi praktis berupaya untuk memahami substansi pembangunan daerah berdasarkan enam dimensi utama, yakni kebijakan, implementasi kebijakan, perencanan, pengawasan, etika dan politik. Dengan sinergi yang baik di antara enam dimensi di atas, pembangunan daerah lebih mudah dijalankan dan hasilnya lebih mudah dicapai.

Dalam hal pembangunan daerah, permasalahan mendasar yang masih belum teratasi sampai saat ini misalnya keterbatasan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Masih ada ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kucuran dana dari pemerintah pusat. Ketidaksiapan aparatur pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi daerah menjadikan banyak daerah masih kesulitan untuk mencari sumber pembiayaan yang otonom.

Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa alokasi dana pembangunan daerah dinilai belum tepat sasaran. Di daerah-daerah saat ini, banyak proyek-proyek pembangunan tidak tepat sasaran dan tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan kesejahteraan masyarakat daerah. Hal ini berakibat pada inefisiensi pembiayaan pembangunan. Ini akan memberikan kontribusi negatif pada keberhasilan pembangunan atau tidak terdapat hubungan signifikan antara peningkatan biaya pembangunan dengan keberhasilan pembangunan yang ditandai dengan pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Fakta membengkaknya anggaran daerah seringkali tidak diimbangi dengan pemetaan yang akurat terhadap situasi aktual kebutuhan masyarakat. Terkesan, kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat hanya bersifat tambal sulam. Kasus-kasus demikian di era otonomi daerah saat ini baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota masih terasa karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan mengenai pengelolaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, serta ketaktersediaan sarana-prasarana pendukung pelaksanaan otonomi daerah serta keterbatasan kemampuan pendanaan pembiayaan pembangunan di daerah sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Penulisan buku ini di samping untuk menambah referensi bagi wawasan manajemen pembangunan daerah juga diharapkan bisa menambah informasi bagi pelaku pembangunan di daerah. Dengan sinergi yang baik di antara enam dimensi di atas, pembangunan daerah diharapkan lebih mudah dijalankan dan hasilnya lebih mudah dicapai.

What it takes to bake a cake

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form, by injected humour, or randomised words which don’t look even slightly believable. If you are going to use a passage of Lorem Ipsum, you need to be sure there isn’t anything embarrassing hidden in the middle of text.

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form, by injected humour, or randomised words which don’t look even slightly believable. If you are going to use a passage of Lorem Ipsum, you need to be sure there isn’t anything embarrassing hidden in the middle of text.

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form, by injected humour, or randomised words which don’t look even slightly believable. If you are going to use a passage of Lorem Ipsum, you need to be sure there isn’t anything embarrassing hidden in the middle of text.

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form, by injected humour, or randomised words which don’t look even slightly believable. If you are going to use a passage of Lorem Ipsum, you need to be sure there isn’t anything embarrassing hidden in the middle of text.

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form, by injected humour, or randomised words which don’t look even slightly believable. If you are going to use a passage of Lorem Ipsum, you need to be sure there isn’t anything embarrassing hidden in the middle of text.

There are many variations of passages of Lorem Ipsum available, but the majority have suffered alteration in some form, by injected humour, or randomised words which don’t look even slightly believable. If you are going to use a passage of Lorem Ipsum, you need to be sure there isn’t anything embarrassing hidden in the middle of text.